Ponpesma Unisla
Serambi Direksi

Viral (Is) Me

Share & Like Post ini :


(Refleksi Akhir Tahun; Pekerjaan Rumah Pendidikan Islam di Era Disrupsi Informasi)

Teknologi benar-benar telah merubah kebanyakan pola pikir manusia. Hadirnya media sosial, sebagai bagian dari kemajuan teknologi membuat pergeseran budaya dan persepsi masyarakat benar-benar berubah. Kaidah “baik-buruk”, “pantas-tidak pantas”, semakin rancu dan kehilangan titik identitasnya. Tergeser oleh kaidah budaya baru yang dibawa serta oleh media sosial. Jika dulu, misionaris, para pendakwah harus berkeliling untuk menyebarkan “kebenaran”. Hari ini para influencer, contenct creator dan sejenisnya membawa kaidah “kebenaran” mereka sendiri kepada khalayak, bahkan ketika mereka di atas tempat tidur.

Dahulu, dalam teori kebenaran hanya terdapat setidaknya 4 (empat) teori kebenaran. Kebenaran korespondensi, sebagai teori kebenaran tertua berdasarkan teori pengetahuan Aristoteles. Pada teori ini, sesuatu dianggap benar ketika selaras dengan fakta atau realitas. Teori kedua, adalah teori kebenaran koherensi. Teori ini menyatakan, bahwa sesuatu dianggap benar jika tidak bertentangan dengan pernyataan yang sudah dianggap benar sebelumnya. Jika jumlah sudut segitiga berjumlah 180 derajat. Maka pernyataan selain itu sesudahnya, gagal dianggap sebagai kebenaran. Ketiga adalah teori kebenaran pragmatis. Kaum pragmatis menyatakan, bahwa pernyataan apapun dapat dianggap benar, jika membawa manfaat. Termasuk pada hal-hal metafisik. Jika pernyataan, “Orang jahat akan masuk neraka”, dapat menurunkan angka kejahatan. Maka, hal tersebut dapat dianggap kebenaran bagi kaum pragmatis.

Kemudian belakangan, seorang tokoh filsafat analitik bahasa J.L. Austin, memperkenalkan konsep kebenaran performatif. Austin menyatakan, bahwa model kebenaran korespondensi yang selalu menautkan indikator kebenaran pada realitas dan fakta, hanya mungkin dilakukan pada sesuatu yang konstan. Sehingga dapat diuji kebenarannya. Pernyataan bahwa “api itu panas”, akan mudah diuji kebenarannya. Karena ia bersifat konstan. Siapa pun akan mudah menguji kebenarannya. Sementara, mantan pacar yang ingin balikan dan berjanji setia, padahal dulunya pernah berkhianat. Tentu sukar diukur kebenaran sumpah setianya. Hal ini menurut Austin, sulit dibuktikan melalui fakta objektif atau konsistensi logis. Kebenaran performatif, cenderung melihat kaidah kebenaran dari otoritas penuturnya. Misalnya saja, semua orang muslim Indonesia mengetahui kebenaran bahwa bulan Ramadhan akan dimulai dengan hilal. Semua orang pun bisa melihatnya dengan alat tertentu, namun semuanya menunggu sidang isbat dari Kementerian Agama untuk memulai puasa. Karena anggapan bahwa Kementerian Agama lebih otoritatif dalam penentuan awal Ramadhan.

Saat muncul media sosial, kebenaran-kebenaran yang disebut di atas seakan tergeser oleh satu aliran baru dalam hal kaidah “kebenaran”, yakni “viralisme”. Keyakinan sebagian masyarakat kita yang langsung saja mempercayai bahwa setiap hal yang viral di media sosial adalah kebenaran. Eli Pariser (2011) memprediksi hal ini, dengan menyatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena media sosial mempunyai efek echo chamber dan filter bubble. Echo chamber adalah efek ketika individu terpapar pada pandangan yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri. Mereka menemukan “banyak data dan penjelasan” yang sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini terjadi karena media sosial mempunyai algoritma yang memungkinkan seseorang mendapati konten dengan tema yang sering mereka cari, sukai dan tonton. Sehingga mereka akan terisolasi dari informasi alternatif yang memungkinkan mereka berpikir lebih moderat dan adil. Hal ini disebut dengan efek filter bubble.

Viralisme bukan tanpa manfaat, sebagaimana ia juga membawa banyak masalah akut. Betapa kita melihat juga beberapa masalah kemanusiaan, mampu diurai dan diselesaikan gegara masalah itu menjadi viral. Beberapa kejadian, mulai dari tidakadilan hukum, kemiskinan dan masalah lain, dapat diselesaikan justru ketika masalah tersebut viral. Netizen, sebutan bagi “warga” dunia maya mampu menjadi “polisi, intelejen partikelir, jaksa bahkan hakim” pada kasus-kasus tertentu. Namun begitu pun, kita melihat beberapa masalah kemanusiaan baru juga timbul gara-gara viral. Mulai dari hoax yang menyebabkan kerusuhan, hingga cyber bullying yang bersembunyi di balik anonimitas dunia maya. Hal ini telah menjadi realitas sosial yang kita hadapi belakangan.

Realita sosial menurut Berger dan Luckman (1966), terbentuk dari interaksi sosial. Namun media sosial mempercepat konstruksi realitas sosial secara artifisial. Acapkali realitas yang dibangun dalam interaksi di dunia maya berbeda jauh dari realitas. Beberapa efek mungkin muncul dari interaksi ini. Berita bohong atau hoax pada isu-isu sosial, terutama pada otoritas-otoritas sosial dan institusi pemerintahan berpotensi menggerus kepercayaan dan menciptakan social distrust. Pada tahapan selanjutnya akan meruntuhkan social capital (modal sosial) sebagai fondasi interaksi antar individu.

Pada awalnya media sosial, memang diharapkan menjadi pendulum transformasi sosial yang cukup baik sebagai bagian dari media massa. Daniel Lerner (1958) pernah menyatakan bahwa media massa berperan penting dalam transformasi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun hal tersebut dalam konteks media sosial, transformasi yang diharapkan menjadi lebih kompleks dan ambivalen. Media sosial dengan viralisme-nya mampu mempengaruhi perspektif, norma dan nilai Masyarakat dengan sangat cepat. Media sosial menciptakan ruang sosial baru di mana kapital simbolik (pengaruh, reputasi, dan kredibilitas) ditentukan oleh popularitas atau “likes” dan “shares”.

Lalu apa yang perlu dilakukan kampus Islam menghadapi isu-isu media, viralisme dan kemajuan teknologi di masa depan?. Pertama, ketika meletakkan kampus Islam sebagai ruang pendidikan. Kita patut membacKembalilKritikik Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) yang menyatakaLembagagPendidikanan sebagai “banking system“. Pelajar, siswa atau mahasiswanya hanya dianggap sebagai penerima pasif informasi. Dalam konteks media sosial, pendekatan ini tidak memadai karena siswa perlu diajarkan untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas dan skeptis. Literasi digital, etika media, harus menjadi concern yang dibangun bersama. Mengintegrasikan pembelajaran berbasis teknologi dengan pendekatan humanis yang mengedepankan empati, kolaborasi dan diskusi kritis menjadi pekerjaan rumah yang harus digarap serius.

Kampus Islam pada masa ini justru menjadi harapan dan garda terdepan serta benteng terakhir untuk mempertahankan karakter bangsa melalui pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter menjadi kunci utama untuk mempertahankan nilai, norma dan aturan sosial. Emile Durkheim, melalui teori fungsi sosialnya, menyatakan pendidikan merupakan mekanisme utama guna mentransmisikan norma dan nilai kepada generasi muda. Durkheim menekankan bahwa pendidikan bukan hanya untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga untuk membangun solidaritas sosial. Manusia sebagai individu selalu belajar dari pengamatan dan peniruan. Ini merupakan perspektif Albert Bandura dalam teori “social learning” yang harus juga dilihat sebagai hal penting. Dalam era digital, para pelajar, siswa dan mahasiswa mudah mendapatkan akses informasi dan mudah pula melakukan peniruan pada apa yang mereka lihat dan tonton. Untuk itu kampus Islam, haruslah juga memberikan tontonan dan konten yang mendidik. Kampus Islam haruslah mengambil andil di media sosial. Sekaligus pada saat yang bersamaan menciptakan panduan penggunaan media sosial bagi peserta didik untuk menciptakan habitat netizen yang sehat di kalangan mereka sendiri.

Kampus Islam harus pula mampu menghidupkan diskusi-diskusi kritis tentang isu-isu kontemporer dengan mengarusutamakan khazanah-khazanah Islam di masa lampau. Khazanah Islam di masa lampau senyatanya mempunyai perangkat kritis yang memadai. Sebut saja ilmu tafsir, misalnya. Dalam ilmu tafsir terdapat perangkat kritis asbab al-nuzul untuk memahami kontekstualisasi teks. Imam Suyuthi dalam Al-Itqan menjelaskan bahwa Ustman bin Madh’un dan ‘Amr bin Ma’dikarib pernah keliru menafsirkan Q.S. Al-Maidah 93 karena tidak memahami konteks turunnya ayat. Belum lagi soal Makki-Madani, hingga diskusi hebat tentang Israiliyat dan tema Al-Dakhil fi Al-Tafsir. Hal ini harusnya mampu menginspirasi kampus Islam untuk mengajarkan contextual learning. Pembelajaran yang sesuai konteks kekinian serta tidak alergi pada info di luar “diri kita”.

Di sisi lain dalam pemahaman hadits, misalnya. Islam menyediakan perangkat yang cukup untuk bersikap kritis pada semua teks. Termasuk pada isu-isu yang dianggap “viral”. Berapa banyak hadits yang “viral”, tapi dikritik dengan sangat baik oleh para ahli hadits. Alih-alih langsung dipercaya. Misalnya yang dilakukan oleh Sayyidah Aisyah ketika “viral” hadits dari Abu Hurairah tentang mayit yang disiksa karena tangisan keluarganya, beliau menceritakan konteks hadits tersebut. Bahwa hadits tersebut muncul ketika Rasulullah SAW lewat pada salah satu rumah seorang Yahudi sedangkan keluarganya menangis. Maka Rasulullah menyatakan, “Mereka menangis, sedangkan (mayyit) sedang diadzab (karena kekafirannya).” Karena jika dipahami tanpa konteks, hadits tersebut berpotensi menyalahi Q.S. Al-Baqarah 286, “Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Sedangkan si mayit, tentu tidak sanggup lagi melarang keluarganya untuk menangis.

Apa yang sudah dilakukan oleh Sayyidah Aisyah adalah Upaya kritis pada sesuatu yang viral dan diyakini khalayak. Secara keilmuan hadits, musthalah hadits membagi hadits berdasarkan tingkatan kepercayaan pada hadits. Mulai dari shahih, hasan, hingga dlaif. Pada periwayat hadits, disediakan perangkat ilmu rijal al-hadits yang berisi biografi para periwayat, serta al-jarh wa ta’dil yang berisi penilaian atas para periwayat. Dalam hal metode seseorang memperoleh hadits, ada metode al-tanawul wa al-ada’, cara seseorang memperoleh dan menyampaikan hadits. Adapula ilmu ‘ilal al-hadits, gharib al-hadits untuk melihat cela dan “keanehan”dalam setiap hadits. Semua perangkat itu adalah perangkat berpikir kritis, pada setiap hal yang disandarkan pada Rasulullah, atau yang kita sebut sebagai hadits. Sehingga setiap hal yang “viral” dan dinyatakan merupakan hadits, tidak lantas diterima dan diamalkan.

Hal-hal tersebut membuktikan bahwa ilmuwan muslim merupakan komunitas yang sangat kritis pada isu-sosial. Bukan komunitas yang hanya membebek atau kita kenal dengan istilah “fomo”, (fear of missing out). Komunitas yang takut dan cemas ketinggalan sesuatu yang viral, update dan sejenisnya. Tapi lupa bersikap kritis pada isu-isu kekinian. Dengan demikian, seharusnyalah kampus Islam dengan civitas akademiknya selalu bersikap kritis pada isu-isu yang viral, bahkan hingga pada sesuatu yang sudah kaprah dianggap sebagai “kebenaran” bagi suatu komunitas.

Selamat Tahun Baru!.



Share & Like Post ini :
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *