Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam bukan hanya berisikan cerita-cerita umat teradahulu, atau hanya berisikan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, namun lebih dari itu, al-Qur’an berisikan aturan-aturan yang kompleks yang salah satunya juga mengatur pola hidup manusia. al-Qur’an turun bukan hanya untuk manusia dalam satu masa tertentu, akan tetapi untuk semua masa setelah diutusnya Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.
Secara kronoligos, bagi Arkoun, al-Qur’an terbagi menjadi tiga tahapan. Pertama, al-Qur’an sebagai firman Allah yang tak terbatas, kedua, al-Qur’an sebagai bahasa lisan yang ada pada nabi Muhammad, dan yang terakhir adalah al-Qur’an sebagai teks, sebagaimaman yang telah sampai kepada kita. Sejak adanya penyeragaman tulisan teks al-Qur’an yang dilakukan oleh khalifah Ustman dalam satu mushaf, yang kemudian mushaf itu dikenal dengan Mushaf Utsmani, secara umum dalam dunia Islam, walaupun tidak semua, telah terjadi keseragaman dalam penulisan al-Qur’an. Kesakralan teks tersebut sudah terbentuk sejak dibukukannya al-Qur’an. Sebab itulah, baik secara religius maupun historius, agama melarang keras melakukan perubahan material teks al-Qur’an.
Adanya larangan keras tersebut sudah menjadi doktrin yang bersifat mutlak di benak umat muslimin. Meskipun kebutuhan terhadap teks, karena perubahan zaman dan tempat, terus berlanjut, namun umat Islam tidak menempuh jalan dengan cara merubah material teks, akan tetapi mereka menempuh jalan penafsiran terhadap teks al-Qur’an. Teks al-Qur’an memang tidak berubah, akan tetapi penafsiran terhadap teks al-Qur’an terus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tempat.
Teks al-Qur’an dan tafsir adalah dua hal yang berbeda. Teks al-Qur’an merupakan teks murni, sebagaimana telah dibukukan pada masa ustman. Dalam pembacaan terhadap teks al-Qur’an, si pembaca akan berusaha membaca al-Qur’an dengan tingkat keintelektualannya. Tanpa adanya intervensi dari luar. Semisal orang awam yang tidak memiliki intelektual yang memadai untuk memahami makna yang terkandung dalam ayat demi ayat al-Qur’an akan membaca al-Qur’an dengan tingkat keintelektualannya dan sesuai dengan kebutuhannya. Orang awam mungkin hanya akan menikmati huruf perhuruf, kalimat demi kalimat yang terkandung dalam al-Qur’an. Orang awam akan merasa tenang ketika membaca al-Qur’an. orang awam mungkin akan berkesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci dengan rangkaian kata dan kalimat yang indah. Ia akan gembira ria ketika membaca teks al-Qur’an walaupun teks yang dibaca berupa ancaman dari Allah.
Lain hal dengan orang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang lebih, semisal ia mengerti bahasa arab, faham kaidah sorrof dan nahwu, kaidah fiqh dan ilmu ushul fiqh, maka selain membaca teks, ia juga berusaha memahami maksud yang terkadung dari teks yang dibacanya dengan bantuan keilmuan yang sudah dikuasainya.
Berbeda dengan tafsir, ketika seseorang membaca tafsir, ia tidak hanya membacanya dengan menggunakan pengetahuannya semata, secara otomatis ia sudah disetir oleh pengetahuan dan ideologi si penafsir. si pembaca akan terbawa oleh alur pikiran si penafsir. ia akan terbantu oleh pemikiran si penafsir ketika membaca al-Qur’an. satu sisi memang bagus, karena si pembaca akan lebih mudah memahami makna al-Qur’an dengan bantuan si penafsir. akan tetapi satu sisi yang lain, dan hal itu cukup berbahaya, si pembaca akan memaknai teks al-Qur’an dengan alur pikiran dan idiologi si penafsir . Karena dalam perjalanannya, sejarah penafsiran teks al-Qur’an sarat akan kepentingan. Ia tidak akan murni dalam memaknai teks al-Qur’an.
Dalam hal ini, Abdul Mustaqim dalam sebuah bungan rampai yang berjudul Studi al-Qur’an kontemporer;wacana baru berbagai metodologi tafsir (2002/9-10) memberikan contoh penafsiran yang dikemukakan oleh kelompok mu’tazilah dengan rasionalitasnya dan gayanya yang antroposentris. Sedang dari kelompok asy’ariyah yang memposisikan dirinya sebagai kelompok moderat. Dari kubu mu’tazilah diwakili oleh al-Zamakhshari dan dari kelompok asy’Ariyah diwakili oleh Fakhruddin al-Razi. Penghadiran dua tokoh dari dua kubu yang berbeda bukan dimaksudkan mempersempit tokoh-tokoh dari ke dua kubu,masih banyak tokoh-tokoh terkemuka dari kedua kubu. Menghadirkan dua tokoh tersebut hanya sebagai contoh semata.
Perdebatan sengit dari kedua kubu dengan masing-masing perwakilan, seperti yang ditulis oleh Abdul Mustaqim, terjadi ketika menafsirkan ayat
Man ihtada fa innama yahtadi li nafsih,Wa man dhalla fa innama yadhillu ‘alaiha, wa la taziru waaziratun wizra ukhra, wa ma kunna muadzdzibiina hatta nab’atsa rasula.
(yang artinya: barang siapa yang berbuat sesuai hidayah (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) drinya sendiri, dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.)
al-Zamakhshari dengan wordview mu’tazilahnya menafsirkan ayat diatas, bahwa manusia diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memilih,mana yang baik dan mana yang buruk. Maka ketika ia melakukan perbuatan, entah itu bernilai baik, ataupun bernilai buruk, semuanya kembali kepada yang melakuakan perbuatan itu. Jadi, bagi al-Zamakhshari seseroang tidak bisa memikul dosa orang lain. Lain halnya dengan Fakhruddin al-Razi menafsirkan, setelah mengumpulkan beberapa pendapat para mufassir dan kemudian satu persatu diekskusi, bahwa seorang balita tidak akan disiksa karena kesalahan orang tuanya dalam mendidik.
Itulah sedikit gambarang dari sekian banyak perdebatan sengit tentang penafsiran teks al-Qur’an. pada intinya, meskipun tidak semua, namun kebanyakan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir memuat ideologi tententu atau paling tidak ditunggangi sebuah kepentingan. Tulisan ini dibuat bukan untuk mencela para mufassir, melainkan hanya untuk menguak sedikit apa yang ada di balik dunia tafsir. Pengaruh ideologi terhadap sebuah penafsiran pada teks al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan.
Lebih ekstrim, Maulana Abul Kalam Azad menjelaskan bahwa al-Qur’an akan kehilangan makna hakikinya jika terjadi penyimpanganan dalam penafsiranya. pemikir Islam kelahiran Mekah yang kemudian besar dan wafat di India itu lebih lanjut menjelakan bahwa penyimpangan tafsir al-Qur’an sering kali terjadi karena adanya kecenderungan para mufassir pada kelompok, madzhab atau kekuatan yang berkuasa pada saat itu. Namun bagi Azad, penyimpangan itu hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Pada masa sahabat, penafsiran yang ada belum sama sekali terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat eksternal, semisal kelompok ataupun madzhab. Sehingga meskipun al-Qur’an ditafsirkan oleh para sahabat, al-Qur’an tidak kehilangan makna orisinilnya.
Surabaya, 13 Nopember 2012
– Ja’far Shodiq, M.Hi (Pengajar/Dosen UNISLA)