Malam itu malam petanda berakhirnya kehidupan kami. Memang kami tidak mati,memang masa depan kami tidak sirna. Namun sejak malam itu, kami melalui hari demi hari dengan susah payah. Kemelaratan tiada habisnya, penderitaan terus menerus berdatangan.
Dini hari jam dua malam kentongan di posko jaga bertalu bersahutan. Berkali kali kentongan dibunyikan. Beriramakan empat kali. Tok tok tok tok. Petanda ada bencana yang datang. Namun masih tanda Tanya. Petaka bencana apa yang menghampiri desa kami. Tidak biasanya bencana melanda desa kami. Desa yang cukup subur yang diapit oleh dua buah sungai besar yang bersumber kurang lebih lima kilo meter dari desaku. Ke arah kaki gunung.
Dalam keadaan bingung, semua orang dalam rumahku bertanya pada diri masing-masing, bencana apa yang datang. Tiba-tiba, braaakk. Bunyi pagar rumah petanda sudah roboh. Pagar kokoh yang terbuat dari anyaman bambu pilihan yang dianyam sepuluh hari yang lalu oleh ayahku. Dan terpasang dua hari setelahnya. Pagar itu sudah roboh. Diterjang oleh sesuatu yang dahsyat pastinya. “pagar ini meski diseruduk kerbau pak kaji tarman sekalipun, tak akan roboh”. Itu kata bapakku seraya membanggakan pagar hasil anyamannya ketika proses pemasangan. Kerbau pak kaji tarman, kerbau palinbg besar di kampungku. Pernah ditawar tiga puluh juta. Namun tetap tak mau dijualnya.
Bebrerapa detik setelah pagar pekarangan rumah ambruk. Tiba-tiba air bah masuk ke dalam rumahku. Rumah yang terbuat dari gedek itu dengan senang hati menyambut kedatangan air. Mempresilahkan masuk ke dalam rumahku. Menyapu apa saja yang bisa ia sapu. Air sudah selutut ayahku. Artinya sudah sampai ke perutku yang waktu itu masih berumur tujuh tahun. “ ali, cepat gendong adikmu”. Kata ayah singkat seraya menyelamatkan barang berharga yang masih bisa diselamatkan bersama ibuku. “kita mengungsi ke rumah pak de sutaji”. Rupanya hujan lebat mengguyur hutan. Namun tidak kampungku yang berada di kaki gunung, di pinggir hutan.
Kami pun keluar dari dalam rumah. Melewari pintu belakang. Aku menggendong adikku, pandu yang waktu itu masih berumu dua tahun. Sementara ayah dan ibu mengangkat barang pekakas rumah dan pakaian. Listrik mati. Penerangan lampu tidak bisa diandalkan malam itu. Hanya percikan sinar rembulan yang mengintip di balik awan agak malu-malu yang hanya menjadi penerangna kami.
Di luar rumah, pun orang-orang juga sibuk menyelamatkan barang dan ternnak mereka. Membawa ke tempat yang lebih tinggi. Meninggalkan rumah yang setiap harinya menjadi tempat berteduh dari sengatan sinar matahari dan dingginnya angin malam. Menjadi tempat istirahat selepas menggarap sawah. Yang terlihat hanya hewan ternak yang besar. Kerbau dan sapi. Sementara kambing, ayam, bebek, angsa dan hewan unggas lainnya sudah diterjang air bah. Dibawa entah kemana. Tentunya ke tempat yang lebih rendah.
Rupanya air bah itu berasal dari luapan dua sungai yang mangapit desaku. Sungai sudah tidak lagi mampu menampung air yang terlampu banyak. Wajar saja, pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menampung air di dalam tanah sudah mulai habis. Bahkan nyaris habis secara keseluruhan. Hanya pohon-pohon kecil dan semak belukar saja yang dibiarkan tetap bertahan untuk hidup. Yang lainnya tidak. Ditebang oleh tangan-tangan yang tak beranggung jawab. Yang hanya memikirkan kekayaan semata. Sementara kamilah yang menaggung derita dari ulah mereka.
Harta benda kami lenyap. Sawah dan ladang jagung yang waktu itu siap panen seketika menjadi bak lautan, penuh dengan air. Rumah kami pun roboh semua. Juga diterjang oleh air. Dalam perjalan mengungsi ke kampung sebelah, yang jaraknya lima kilometer dari kampungku, masing-masing penduduk sibuk dengan pikiran masing-masing. Memikirkan tempat tinggal selanjutnya, dari mana sumber penghasilan mereka untuk makan dan sekolah anak-anak, sementara sawah dan ladang kini sudah tidak bisa diharapkan lagi.
*****
“Pak itu bunyi apa. Kok nyaring banget pak. Kayak bunyi motor trail?”. Aku bertanya pada bapakku yang waktu itu masih berumur lima tahun. Pagi betul, Tungku di dapur masih baru dinyalakan untuk masak nasi dan lauk pauk untuk kemudian dibuat bekal ke sawah dan lading. Namun, bunyi itu sudah nyaring terdengar. “bunyi mesin gergaji nak”. Jawab bapakku sambil mempersiapkan cangkul dan peralatan lainnya, untuk dibawanya ke sawah. “itu gergaji yang menebang pohon di hutan selatan kampung kita.”
Bunyi itu amat mengusik telingaku. Mungkin juga telinga warga kampung lainnya. Pagi itu, ayam-ayam jantan pun juga malas untuk berkokok. Toh meski berkokok, kokokannya nyaris tidak terdengar. Kalah dengan suara mesin gergaji.
Sepulang sekolah, aku beserta dua orang temanku menyempatkan diri pergi ke pinggiran hutan di selatan kampungku. Semakin dekat dengan pinggiran hutan, bunyinya semakin nyaring,memekik tajam,membuat gendang telinga membengkak. Semak belukar aku lewati. Kini tiba di tempat bunyi gergaji itu berasal.
Nampak pohon jati yang sudah berpuluh-puluh tahun bertengger di hutan itu roboh. Pohon jati yang berdiameter kurang lebih satu meter itu harus tumbang hanya dengan sebuah gergaji besi yang besarnya tidak seberapa. Juga harus tumbang hanya karena ada sedikit keserakahan di hati manusia.
Siang itu, yang kulihat baru ada dua puluh pohon jati yang tumbang. Itu aku hitung sendiri. Entah nanti sore hari. Entah sebulan ke depan. Berapa puluh, mungkin ratus pohon jati yang akan tumbang. “para warga tidak usah khawatir. Kami akan mereboisasi, akan menanam pohon jati kembali. Dan warga kampung ini akan mendapatkan uang ganti rugi dari ketidak nyamanan selama kami menebang”. Itu kata seorang yang berperut tambun, yang mengaku bertanggung jawab terhadap penebangan itu. Ketika pertama kali mereka mencoba melakukan penebangan. Itu dua bulan yang lalu. Ketika mereka hendak memulai penebangan.
Warga kampung tetap menolaknya. Warga kampung mencegah mereka. Apa saja yang bisa dibawa, mereka bawa untuk mengancam lalu mengusir para penebang pohon itu. “bukan itu yang kami inginkan. Kami menghawatirkan bila pohon-pohon jati itu ditebang, tanah dan air tidak memilki penyanggah. Lalu menguyur kampung kami bila hujan deras tiba.”. itu kata kepala kampung kami ketika warga mengusir mereka.
Namun sekarang. Mereka leluasa menebang pohon. Warga tidak bisa mencegahnya. “mereka sudah mengantongi surat ijin untuk menebang pohon jati.” Kata ayahku ketika aku bertanya kenapa warga hanya diam saja, tidak memberikan respon penolakan seperti yang sudah dilakukan. “bahkan kini mereka sudah dikawal oleh polisi.”. ayahku melanjutkan.
Semakin hari para penebang itu semakin masuk ke dalam hutan. Tidak dipinggiran hutan saja. Itu aku ketahui lantaran saban hari sepulan dari sekolah, aku dan teman-temanku menyempatkan diri melihat lokasi penebangan. Ingin mengetahui sudah berapa ratus pohon jati yang mereka tebang.
Warga kampung hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Menyaksikan pohon jati yang kesehariannya menghiasi hutan mereka. Pohon-pohon yang amat berjasa menyimpankan air hujan untuk mereka. Air yang disimpan di akar untuk kemudian dikeluarkan melalui sumber-sumber air di pinggiran kampung. Mereka hanya bisa gigit jari ketika puluhan truk hilir mudik mengangkuti pohon jati dari dalam hutan untuk di bawa entah kemana. Mungkin ke kota. Warga kota pun tidak berkeinginan untuk tahu. Mungkin akan menambah rasa sakit hati bila mereka mengetahuinya.
Hari yang ditunggu telah tiba. Genap sudah satu bulan penebangan itu dilakukan. Proses penebangan dihentikan. Meski masih saja tetap terdengar bunyi gergaji. Namun tidak senyaring dan sebanyak beberapa waktu yang lalu. Mungkin itu hanya orang-orang yang nakal mencari uang tambahan untuk dijualnya sendiri. Nampak hutan itu sudah gundul. Nyaris tak tersisa satu pun pohon jati yang tersisa sejauh mata memandang.
Tiga bulan sudah, penebangan itu berakhir. Terhitung sejak hari terkahir ijin melakukan penebangan. Namun hingga kini janji itu tak pernah dipenuhi. Janji untuk mereboisasi pohon jati yang ditebang. Janji untuk memberikan ganti rugi terhadap ketidak nyamanan warga, lebih-lebih jalan kampung menjadi rusak parah lantaran saban hari selama penebangan berlangsung truk pengangkut kayu jati silih beerganti lewat. Sampai saat ini, umurku sudah dua puluh enam tahun. Hutan itu masih tetap gundul. Dan kampungku itu telah menjadi suangai yang menganga lebar.
Batu, 05 Nopember 2015
(naskah pernah diterbitkan di Radar Bromo, Jawa Pos)
– Ja’far Shodiq, M.Hi (Pengajar/Dosen UNISLA)