Masyarakat di wilayah karesidenan Bojonegoro, khususnya Lamongan, dibuat tersentak oleh berita yang dirilis Radar Lamongan (Senin, 14/10/2019). Dalam berita itu, disebutkan periode Januari-Oktober 2019 ada 721 kasus cerai talak dan 1.533 Gugat cerai. Dari keduanya, data yang disebutkan terkahir yang cukup membuat masyarakat terheran-heran. Artinya, selama kurang lebih 10 bulan, ada 1500 lebih wanita yang menggugat cerai suaminya. Atau, terdapat kurang lebih 5 wanita perhari yang menggugat cerai pada suaminya, itupun dengan ikut menghitung hari sabtu, minggu dan hari libur nasional sebagai hari aktif menerima pendaftaran perkara di PA.
Lebih lanjut dalam berita tersebut ditulis ada 60 persen dari perkara gugat cerai dilatar belakangi tidak tercukupinya ekonomi. Selebihnya karena faktor media sosial. Pertanyaannya, sejauh mana seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan ekonomi istri dan anak-anaknya?, mengapa faktor ekonomi mendominasi alasan gugat cerai?.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 80 poin 1 dijelaskan seorang suami menjadi pembimbing bagi istri dan keluarganya. Kaitannya dengan nafkah dijelaskan dalam ayat 2, seorang suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Yang perlu digarisbawahi dari ayat tersebut adalah klausul “sesuai dengan kemampuannya”.
Klausul itu memberikan pengertian, seorang suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya sesuai dengan kadar kemampuannya dalam bekerja, sesuai dengan kadar penghasilan yang diperoleh dari profesi yang digeluti. Tolok ukur dalam pengelolaan keuangan keluarga harus didasarkan pada kemampuan anggota keluarga untuk menghasilkan nafkah. Begitu juga dalam konsumsi.
Celakanya, Kecukupan ekonomi kadangkala diukur dengan kepuasan konsumsi. Semakin puas mengkonsumsi, dianggap semakin cukup dalam ekonomi. Menjadikan kepuasan konsumsi, secara serampangan, sebagai tolok ukur kecukupan ekonomi tentu cukup berbahaya. Apabila kepuasan itu didasarkan pada kebutuhan, tentu masih bisa diterima. Namun bagaimana bila kepuasan itu didasarkan pada keinginan?. Artinya, puas dalam memenuhi keinginan, bukan kebutuhan. Perbedaan keduanya sangatlah tipis.
Jean Baudrilard (1970), seorang Filosuf berkebangsaan Jerman telah sejak lama “mengultimatum” masyarakat tentang fenomena manipulasi tanda bagi konsumsi. Baginya, dunia nyata digantikan oleh dunia firtual yang membentuk sebuah realitas semu bernama simulacra. Realitas semu itu tampil di berbagai media, salah satunya televisI, dalam bentuk iklan. Singkatnya, Iklan inilah yang kemudian mengarahkan keinginan seolah-olah menjadi kebutuhan. Masyarakat tidak menyadari, yang ia butuhkan bersumber dari yang ia inginkan.
Sejauh mana keinginan itu akan muncul?, sejauh iklan menampilkan realitas-realitas semu yang ditawarkan kepada masyarakat. Pada titik inilah yang perlu diperhatikan, kaitannya dengan rasa tidak tercukupi ekonomi, yang kemudian dijadikan alasan gugat cerai. Penulis khawatir, rasa tidak tercukupi itu muncul dari hasrat untuk selalu memenuhi keinginan, yang menjelma menjadi kebutuhan. Penghasilan akan selalu terbatas bila bertabrakan dengan keinginan yang bersumber dari iklan. Padahal jumlah iklan tak terbatas, bahkan membanjiri kehidupan. Disinilah perlu kebijaksanaan dan kearifan untuk menentukan skala prioritas konsumsi. Mana yang perlu didahulukan dan mana yang perlu ditangguhkan. Di samping itu, diperlukan ketelitian dalam melihat kebutuhan, mana yang menjadi kebutuhan yang sebenarnya dan yang bersumber dari keinginan semata. Harapannya, tidak lagi muncul kesan cost tidak mencukupi untuk keperluan konsumsi. Sehingga perselisihan dalam rumah tangga, terutama karena alasan ekonomi, bisa diminimalisir.
Oleh: Ja’far Shodiq, M.Hi
(Pengajar/Dosen UNISLA)