Oleh: Ust. Ja’far Shodiq
SuaraPonpesma. – Proses industrialisasi yang terjadi di berbagai kota besar seperti Jakarta, surabaya dan berbagai kota lainnya yang digenjot sedemikian rupa telah melahirkan dunia baru, dunia industri. Dunia baru ini bisa dilihat dari banyaknya pabrik-pabrik yang berdiri dengan segala varian produk barang dan jasa yang dihasilkan. Dan yang terpenting, hal ini dipercaya telah membantu menggeliatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka. Tren peningkatan ini pada akhirnya berdampak pada penurunan angka kemiskinan di daerah dimana industri tumbuh.
Tawaran-tawaran yang disuguhkan oleh industrialisasi cukup menyilaukan mata masyarakat dan para pemangku jabatan di wilayah atau kota satelit yang mengitari kota-kota besar, lebih-lebih peningkatan kesejahteraan rakyat dan penurunan angka kemiskinan. Kekaguman ini kemudian ditindak lanjuti dengan aksi nyata berupa pendirian pabrik-pabrik dan berbagai fasilitas modern lainnya. Selanjutnya, perlahan tapi nyata, kota satelit disulap menjadi kota industri. Pabrik-pabrik mulai didirikan dengan memanfaatkan lahan pertanian sebagai pijakannya.
Sekilas yang tampak adalah kemajuan-kemajuan dalam bidang industri, tanpa celah dan membuat masyarakat terlena. Hanya saja bila dilihat lebih jeli dalam pembangunan pabrik-pabrik yang menopang berdirinya kota industri akan tampak adanya beberapa hal yang amat perlu diperhatikan:
Pertama: Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan pabrik menjadikan lahan garapan petani menyempit. Seperti yang terjadi di Kabupaten Gresik dan Lamongan yang menjadi kota satelit bagi kota Surabaya. Berapa banyak lahan pertanian yang kini disulap menjadi pabrik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febri Ilianda yang diterbitkan dalam E-Journal Swara Bhumi Pendidikan Geografi FIS Unesa (2013) menyebutkan dekade 2006-2010 di kecamatan Paciran kabupaten Lamongan terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian seluas 1.490.150,75 M2 atau 14,9 Km2. Dampak yang paling terasa adalah mengurangnya jumlah produksi pangan (baca: padi) yang dihasilkan oleh petani. Padahal hampir secara keseluruhan masyarakat jawa Timur mengkonsumsi nasi. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan pokok (nasi) negara diharuskan untuk mengimpor beras dari negara lain.
Kedua: masyarakat berbondong-bondong untuk beralih profesi. Penyempitan lahan pertanian menjadikan sebagian masyarakat yang berprofesi sebagai petani kehilangan lahan mata pencahariannya dan mereka tidak lagi bisa bertani. Masyarakat petani tidak perlu merisaukan mata pencaharian. Pabrik-pabrik telah membuka lowongan kerja bagi mereka. Tinggal mendaftar, dan bila memenuhi persyarakat ia akan direkrut dan bekerja. Namun ada juga masyarakat petani yang lahannya tidak dialih fungsikan menjadi pabrik, tetapi tergiur untuk bekerja di pabrik. Gaji yang tinggi dan pasti menjadikan masyarakat membulatkan niat dan tekad untuk menjadi buruh pabrik. Niat untuk beralih profesi diperkuat oleh realitas tidak menjanjikannya hasil pertanian yang didapat, entah dipicu oleh faktor mahalnya pupuk dan bibit, atau rendahnya harga jual produk pertanian. Problemnya, alih profesi itu terkadang tidak dibarengi dengan keterampilan dibidang industri. Akhirnya para mantan petani hanya menjadi buruh kasar di pabrik tempat ia bekerja.
Ketiga: terciptanya kelas baru, yakni kelas pekerja. Yang pasti, peralihan profesi dari petani menjadi buruh pabrik telah terjadi di depan mata. Dan telah melahirkan kelas baru, yaitu kelas pekerja/buruh. Peralihan ini jangan hanya dipandang sebagai peralihan perantara untuk mencari makan semata, namun akan merambah pada pola hidup. Pola hidup petani menjadi pola hidup kelas pekerja. Perubahan pola hidup yang diakibatkan oleh peralihan profesi juga terjadi beberapa abad silam pasca revolusi industri di Prancis. Marvin Perry dalam bukunya Western Civilization, A Brief History (2013) mencatat bahwa adanya perubahan profesi ini menyebabkan terjadinya pemutusan sepenuhnya dan mendadak masa silam –menghancurkan pola-pola moral tradisional masyarakat.
Ketiga problematika dia atas kemudian berkumpul dan menghasilkan sebuah masyarakat baru yang terdiri dari manusia-manusia yang telah lepas dari akar kebudayaan lama. Manusia-manusia yang berprinsip nrimo ing pandu, gotong royong,guyup, dan produktifberubah menjadi manusia yang penuh dengan obsesi tak terkenali, individualis matrealis, dan konsumtif. Bukan bermaksud menolak industrialisasi yang mustahil untuk dihindari dan memang terbukti mampu mengawal masyararakat menjadi modern, namun hanya mengingatkan agar penggerak industri tetap memperhatikan pembangunan berbasis nilai kemasyarakatan, yaitu membangun dengan tanpa mengbinasakan yang lama, membangun dengan tidak merubah nilai-nilai yang ada di masyarakat, membangun dengan tetap menghormati budaya-budaya dalam masyarakat. Dengan demikian, diharapkan perubahan dan alih profesi dari petani menjadi pekerja/buruh tidak merubah nilai-nilai kehidupan dan budaya lama yang telah terbukti membentuk individu dan masyarakat yang bermoral, guyup, toleran dan saling menghormati. Dan yang paling penting, pemerintah harus membatasi pengalihfungsian lahan pertanian menjadi pabrik. Pemerintah kabupaten diharapkan lebih tegas dalam pemberian ijin pendirian bangunan pabrik, dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan dan luas lahan pertanian.