Oleh : Ust. Ulil Albab, S.HI
SuaraPonpesma., Pandangan KH. Hasyim Asy’ari yang berbeda mengenai bid’ah, berkonsekuensi pada pendapatnya terhadap tradisi atau ritual keagamaan yang tumbuh subur di kalangan Muslim Jawa saat itu hingga sekarang. Dalam hal ini, terdapat beberapa tema yang ditemukan dalam karya-karya Kyai Hasyim, seperti ziarah kubur, tawassul (menempatkan perantara dalam berdoa), dan istighatsah (meminta pertolongan).
Dalam kitab Risalah Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, Kyai Hasyim menegaskan tidak ada alasan untuk melarang pelaksanaan ziarah kubur. Sebaliknya, ziarah kubur menjadi penting bagi umat Muslim dan oleh karena itu tidak menjadi bagian dari bid’ah. Hal ini dapat dianalogikan dengan praktek ziarah ke makam Nabi yang bukan hanya tidak bid’ah, melainkan justru disunnahkan. Bahkan, secara tegas Kyai Hasyim menyatakan, barangsiapa yang tidak mengakui status sunnah dalam praktek ziarah ke makam Nabi, termasuk penentang Allah, Muhammad, dan kesepakatan ulama’.
Perhatian KH. Hasyim Asy’ari untuk mengangkat pembahasan ziarah kubur ini tampaknya merupakan respon terhadap pendapat-pendapat di kalangan Wahhabi mengenai status hukum masalah tersebut. Karena seperti yang diketahui, masalah tersebut mencuat sebagai kontroversi setelah Muhammad bin Abd Al-Wahhab menyoroti secara tajam praktek ziarah ke makam Rasul di Madinah yang dilakukan oleh jama’ah haji. Demikian halnya dalam masalah tawassul dan istighatsah mendapat kecaman keras oleh Muhammad bin Abd Al-Wahhab dan ulama’-ulama’ yang sealiran dengan Wahhabiyah. Mereka menghukuminya haram, dan termasuk perbuatan syirik.
Sementara tawassul (penggunaan perantara dalam berdoa), Kyai Hasyim menegaskan tidak ada larangan sedikitpun yang menunjuk pada praktek tawassul. Sebaliknya, tawassul dalam berbagai manifestasinya, baik melalui para Nabi atau para wali, atau orang-orang shaleh menjadi praktek keagamaan Islam yang diperbolehkan.
Menurut Kyai Hasyim, dibolehkannya seseorang ber-tawassul itu karena pada dasarnya tujuan doa seorang hamba yang ber-tawassul adalah Allah, bukan kepada selain Allah. Hanya saja, demi terkabulkan doa itu, ia meminta tolong atau menggunakan perantara orang-orang yang ditetapkan memiliki martabat dan derajat yang luhur di sisi Allah, seperti para Nabi, wali, dan orang-orang shaleh.
KH. Hasyim Asy’ari juga mengkritik secara tegas pernyataan kalangan modernis yang menuding tawassul dan istighatsah sebagai praktek bid’ah dan dekat dengan penyekutuan Tuhan (syirik). Bagi Kyai Hasyim, artikulasi dari ketiga tradisi keagamaan di atas tetap dalam kerangka monoteis (peng-Esa-an Tuhan). Karena, meskipun melalui perantara, tetap saja substansinya meminta kepada Allah.
Sebaliknya, Kyai Hasyim juga menyampaikan kritik tajam terhadap kalangan modernis yang selama ini mengaku menjadi bagian dari penerus Ibn Taymiyah. Mereka yang menuding ziarah kubur, tawassul, dan istighatsah sebagai praktek keagamaan bid’ah, syirik, dan menyeleweng, sebenarnya telah melakukan kebohongan atas nama Ibn Taymiyah. Karena menurut Kyai Hasyim, Ibn Taymiyah justru mengakui keabsahan ziarah kubur, tawassul, dan istighatsah. Meskipun pada saat yang sama, Ibn Taymiyah juga memberikan pernyataan yang membingungkan masyarakat awam berkenaan dengan ketiga tradisi tersebut.
Di era sekarang ini, banyak generasi muda yang lupa akan kultur budaya ziarah kubur, tawassul, dan istightsah yang sangat melakat pada masyarakat Jawa. Ketiga tradisi tersebut merupakan karakter bangsa Indonesia yang tetap lestari di bumi Nusantara. Ziarah kubur bukan sekedar mendatangi pusara orang-orang sudah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu.
Tradisi ziarah kubur merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Ziarah kubur merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, ziarah kubur menjadi contoh akulturasi agama dan kearifan lokal.
Akulturasi budaya sangat terlihat nyata pada tradisi ziarah kubur yang dipraktekkan oleh masyarakat Jawa. Ziarah kubur yang dulu syarat dengan pemujaan roh kemudian diluruskan niatnya kepada yang Maha Esa oleh para ulama (Walisongo). Tradisi ziarah kubur mampu menyatukan heterogenitas masyarakat Jawa. Tradisi yang kental akan nilai-nilai pluralitas dan menjadi watak masyarakatnya, selain nilai-nilai tersebut, masih banyak nilai-nilai agung yang terpendam dalam tradisi ziarah kubur. Nilai-nilai tersebut menjadi karakter bagi masyarakat Jawa. Karakter yang secara tidak disadari terintegrasi dalam jiwa generasi berikutnya.
Kalau kita mau menelaah pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang begitu getol mempertahankan ketiga tradisi kegamaan yang telah dijelaskan di atas, maka sebenarnya, ketiga tradisi tersebut memiliki beberapa nilai pendidikan yang tinggi, antara lain: Pertama, Religius. Religius maksudnya berhubungan dengan praktek ketuhanan. Nilai religius ini juga tampak sangat jelas dalam ritual ziarah kubur. Ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Doa merupakan unsur penting dalam pelaksanaan ritual ziarah kubur. Selain itu, ritual ziarah kubur merupakan pengeJawantahan dari nilai religius. Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa setiap manusia akan kembali kepada yang Maha Esa.
Kedua, syukur. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, mempunyai kesadaran akan kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk persembahannya yaitu melalui laku syukur. Ziarah kubur merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan. Masyarakat dengan suka-rela menyumbangkan sesuatu semampunya untuk orang lain. Ketiga, gotong-royong (rukun). Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. ziarah kubur merupakan perwujudan dari laku rukun masyarakat Jawa. Keempat, saling menghormati (Pluralisme). Melalui ziarah kubur, nilai-nilai saling menghormati perbedaan ditanamkan kepada setiap generasi. Bisa disaksikan ketika ziarah kubur pada pusara orang-orang kharismatik seperti ziarah Walisongo, setiap rombongan atau kelompok memanjatkan ritual doa masing-masing, akan tetapi mereka tidak saling menyalahkan.
Ziarah kubur, tawassul, dan istighatsah merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang syarat nilai dan karakter luhur. Tradisi apapun bentuknya jika tidak dijaga dan dilestarikan akan hilang tergerus zaman. Jika generasi muda tidak dikenalkan dari sekarang, lalu siapa lagi yang akan menjaga dan mengamalkan tradisi luhur para leluhur kita. Wallahu a’lam. (Dikutip dari berbagai sumber).