Ponpesma Unisla
ArtikelOpini

Ilfiltrasi Paham Radikal Di Lembaga Pendidikan Dan Pentingnya Pendidikan Ke-Aswaja-An

Share & Like Post ini :


Oleh : Ust. Ja’far Shodiq, M.H

SuaraPonpesma., Pemberitaan media massa cetak maupun online terkait penangkapan tiga orang terduga teroris di Universitas Riau pada bulan Juni 2018 lalu cukup menyita perhatian dari banyak kalangan, terutama dari kaum terpelajar sendiri. Seperti yang diberitakan oleh Kompas. com pada tanggal 02 Juni 2018, bahwa dari keterangan aparat kepolisian ketiganya merupakan alumnus kampus tersebut. Para terduga ditangkap karena melakuan aktifitas yang mencurigakan, termasuk perakitan bom. Rencananya, bom yang dirakit  akan diledakkan di gedung DPRD dan DPR RI.

Penangkapan tiga orang terduga teroris tersebut membuat mata masyarakat lebih terbuka untuk memperhatikan lembaga pendidikan yang ada di sekitarnya. Bagaimana lembaga pendidikan, termasuk kampus juga menjadi salah satu target “pemasaran” paham kelompok radikal yang juga mulai melakukan aksi nyata di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk tindak pidana pengeboman. Lembaga pendidikan dirasa sangat efektif untuk menyebarluaskan sebuah paham dengan cara menyisipkannya di beberapa materi yang disampaikan pada anak didik.

Senyatanya, gejala adanya infiltrasi (penyusupan) kelompok radikal bukan hanya bisa ditemukan di pendidikan tinggi kampus. Menurut hasil penelitian The Wahid Institut yang kemudian di bukukan dalam sebuah buku berjudul Ilusi Negara Islam (Abdurrahman Wahid (ed): 2009) ilfiltrasi tersebut sudash mulai menyisir di lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah. Hal ini bisa di lihat dari beberapa contoh kasus, semisal yang di salah satu Sekolah Negeri Dasar di Bekasi, bahwa ada salah seorang murid yang masih duduk di bangku kelas empat menyebut orang tuanya kafir karena ia masih duduk di depan televisi saat adzan berkumandang di spiker masjid. Tentu saja sang orang tua kaget mendapat kenyataan anaknya yang masih duduk di sekolah dasar telah melebelkan kata kafir pada mereka. Di lingkungan sekolah menengah pertama, kasus yang terjadi salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Ciputat Tangerang menarik untuk diperhatikan. Bagaimana tidak, salah satu muridnya telah berani menuding ibunya akan masuk neraka karena tidak memakai jilbab. (202/2009).

Lantas apa hubungannya antara penangkapan terduga teroris dengan pemberitaan pengkafiran dan tudingan masuk neraka?. Kata “kafir” identik dengan pengingkaran seseorang terhadap kebenaran Tuhan, sedangkan “neraka” identik dengan tempat yang menyeramkan untuk menyiksa orang-orang yang berbuat dosa dan tidak mematuhi perintah Tuhan. Dengan demikian menjadi jelas, dua kata tersebut dialamatkan pada orang yang dinilai tidak memenuhi perintah Tuhan, sekalipun orang tua mereka sendiri. Bisa dipahami bahwa penggunaan dua kata tersebut sebagai lebelisasi pada oang lain merupakan bentuk pengejawantahan dari paham atau ajaran yang mereka terima dari orang lain. Dalam kasus yang melibatkan siswa SD dan SMP, paham yang mereka terima baru diejawantahkan dalam bentuk verbal, mungkin karena tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan nonverbal. Tidak menutup kemungkinan, mereka akan melakukan tindakan non verbal bila mampu melakukannya, seperti halnya tindakan pengeboman. Artinya, bisa jadi tindakan pengeboman merupakan lanjutan dari tindakan verbal yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

Dengan demikian, baik pengeboman, rencana pengeboman dan tindakan-tindakan verbal yang mengindikasikan intoleransi merupakan bentuk pengejawantahan dari paham radikal yang mereka terima. Dalam sejarah islam, pasca wafatnya nabi Muhammad SAW kelompok yang mudah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya adalah Khawarij, yang di era modern menjelma menjadi Wahabi. Benarkah anak-anak didik kita dan lembaga pendidikan telah disusupi oleh mereka dan mencuci otaknya?.

Memperdebatkan ada tidaknya infiltrasi tidak begitu penting. Namun tindakan-tindakan menyalahkan orang lain jelas tidak mencerminkan keindonesiaan dan islam Ahlussunnah wal jama’ah yang lebih mengedepankan toleransi dan kerukunan. Untuk mengantisipasi adanya ilfiltrasi tersebut perlu dilakukan langkah-langkah nyata, termasuk menggalakkan pendidikan keaswajaan di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari dasar hingga perguruan tinggi. Karena tidak ada bedanya antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi, kesemuanya berpeluang untuk disusupi bila melihat kasus-kasus di atas. Gagasan dan paham yang berasal dari kelompok radikal juga harus dilawan dengan gagasan dan paham, khususnya yang berasal dari kelompok Ahlus Sunnah Waljama’ah al-Nahdliyah. Pendidikan aswaja yang diberikan secara intens diharapkan mampu memperkuat pemahaman anak didik tentang islam yang toleran dan cinta keragaman. Lembaga pendidikan menjadi lembaga dan alat paling efektif untuk menfilter paham-paham radikal seraya menyebarkan paham aswaja.



Share & Like Post ini :
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *