TAK PERLU BAPER, CERDASLAH BERMEDIA SOSIAL!
(REFLEKSI JELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2019)
Oleh: Ja’far Shodiq *(Ustadz Madin Ponpesma)
SuaraPonpesma. Pendaftaran Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden baru saja ditutup. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu 2019 pendafraran dilakukan selama tujuh hari, yaitu mulai tanggal 4 Agustus hingga 10 Agustus. Artinya, untuk saat ini KPU tidak menerima pendaftaran lagi. Ada dua nama calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung dalam perhelatan Pemilihan Umum (pemilu) untuk memperebutkan kursi RI 1 dan RI 2, yaitu Joko Widodo berpasangan dengan KH. Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto berpasangan dengan Sandiaga Salahuddin Uno. Pemilihan presiden 2019 itu kembali mempertemukan alumni peserta pemilu 2014, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Kembalinya dua tokoh nasional tersebut dalam pemilu 2019 menimbulkan sejumlah spekulasi, mulai dari siapa yang akan menang dengan mengacu pada perolehan suara di masing-masing Provinsi hingga sejumlah penetrasi dan kampanye (juga kampanye gelap beserta isunya) yang akan mewarnai dan mengiringi pelaksanaan pemilu. Berspekulasi boleh saja, hanya saja perlu diingat, bahwa dalam politik semua hal bisa terjadi, yang diprediksikan menang bisa saja kalah, begitu juga sebaliknya. Namun bagi masing-masing pendukung yang terpenting adalah bagaimana melaksanakan segala hal yang mendukung pemenangan seorang calon dalam pemilu, termasuk melakukan penggiringan opini, lebih-lebih melalui media sosial (medsos) yang bergerak di dunia maya.
Keberadan media sosial memang banyak memberikan manfaat, termasuk penggiringan opini ke salah satu pasangan calon. Meski tidak senyata yang ada di panggung-panggung orasi, namun kehidupan dalam dunia maya senyatanya benar-benar ada dan bisa memberikan dampak yang cukup signifikan. Seperti yang digambarkan dalam adegan film “Republik Twitter” dimana ada penggiringan opini yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menjelma ke dalam beberapa akun palsu atau akun anonim. Sekelompok orang inilah yang menggulirkan isu dan membuatnya laku di pasaran dunia maya.
Seperti yang diberitakan oleh media online “Tirto.Id” dalam salah satu beritanya yang berjudul “Akun Medsos Anonim di Tengah Pertarungan Pilpres 2019”, bahwa saat ini sudah banyak bermunculan akun-akun anonim yang bergerak dan bergerilya di dunia maya, khususunya Twitter. Media Online itu memberikan contoh beberapa akun anonim yang menunjukkan sikap dukungan kepada salah satu calon, seperti akun @kakekdetektif yang dengan istiqomah memainkan isu-isu yang pro kepada Jokowi dan @maspiyu yang bertendensi mendukung kubu opisisi pemerintah. Dan masih banyak lagi akun-akun anonim yang bertebaran di berbagai media sosial termasuk di UC Browser yang kerap memberikan komentar yang memancing emosi, termasuk bernadakan pelecehan agama.
Banyaknya informasi yang bertebaran di jagat dunia maya menyebabkan masyarakat seringkali dipertemukan dengan informasi-informasi “sampah” yang ada dan muncul di setiap situs di internet, bahkan kerap kali juga dishare melalui media sosial. Ada pengulangan dalam aktivitas membaca konten “sampah” tersebut bisa jadi akan memperkuat kebingungan pembaca dalam membedakan antara informasi yang benar dan salah, bahkan ada kemungkinan akan menjadi sebuah kesadaran yang tertanam dalam diri pembaca.
Dalam teori yang dikemukakan Edward Lee Thorndike tentang Stimuli (S) dan Respon (R) tentang teori belajar, ketika menjelaskan tentang hukum latihan (law of exercise), (B.R Hergenhahn dan Matthew H. Olson, 2008/65), ia mengasumsikan bahwa:
- hubungan antara stimulus dan respon akan menguat bila keduanya dipakai. Dengan kata lain melatih hubungan stimulus dan respon akan memperkuat hubungan keduanya.
- Hubungan antara stimulus dan respon akan melemah apabila praktik hubungan keduanya dihentikan.
Katakanlah si pembaca disuguhkan konten berita bahwa Jokowi adalah PKI dan si pembaca memberikan respon dengan membenarkan berita tersebut. Bila berita dengan konten serupa selalu diulang, respon bahwa Jokowi adalah PKI juga akan diulang. Pengulangan Stimulus dan Respon akan menguatkan penilaian terhadap Jokowi. Semakin sering Respon-Stimuli bekerja, semakin kuat pula hubungan keduanya. Persepsi tentang Jokowi adalah PKI dalam benak pembaca akan semakin menguat.
Sejatinya, masyarakat sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. Masyarakat sudah banyak yang melek informasi dan berkesempatan mengaksesnya secara luas. Hanya saja yang membuat khawatir, informasi yang bertebaran di berbagai medsos sering kali tidak bisa dipertanggung jawabkan, dalam artian tidak memenuhi unsur-unsur jurnalistik. Mudahnya mengakses dan membagikan informasi menjadikan masyarakat mabuk dalam kebebasannya, termasuk bebas dalam membagikan dan menyebarkan informasi. Tentunya, mereka yang tidak memiliki dasar-dasar jurnalistik akan membuat berita yang tidak mematuhi aturan jurnalistik. Dengan demikian, informasi yang dibagikan sebenarnya tidak memiliki nilai jurnalistik sama sekali. Dan informasi semacam itulah yang dikonsumsi oleh masyarakat kita melalui medsos.
Banyaknya informasi yang bertebaran dan bercampurbaurnya informasi yang di dasarkan atas nilai-nilai jurnalistik dan yang tidak, membuat masyarakat bingung dan mengalami kesulitan untuk membedakan informasi yang benar dan salah. Dalam dunia maya atau medsos, semua informasi terkesan benar, lebih-lebih bagi mereka yang lebih mengedepankan rasa (baca baper, bawa perasaan) dari pada akal. Bisa dianggap wajar, meski tetap keliru, mengingat konten-konten informasi yang disuguhkan banyak yang menguras emosi. Hanya saja, para pembaca harus tetap lihai dalam menyaring informasi.
Untuk mengantisipasi dan mengcounter menyebarnya informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, alangkah baiknya para membaca melakukan;
Pertama, lebih aktif membaca berita dari sumber-sumber, baik media cetak atapun media online, yang bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Untuk itu, para pembaca harus cerdas dalam memilih sumber ini. Keliru memilih sumber adalah awal dari segala kekeliruan dalam memperoleh informasi. Para pembaca bisa mengunjungi beberapa situs online yang bisa dijadikan rujukan dalam mencari informasi, beberapa diantaranya Tempo.Co, Kompas.Com dan Tirto. Id.
Kedua, pedoman yang dipakai bukanlah أنظر ما قال ولا تنظر من قال,”lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan, melainkan harus berpedoman pada أنظر من قال ولا تنظر ما قال “lihatlah siapa yang mengatakan, jangan lihat apa yang dikatakan”. Artinya setiap pernyataan, dalam hal ini pernyataan politik, harus diselidiki siapa yang memberikan pernyataan. Pernyataan politik bisa dijadikan acuan bila diungkap oleh orang yang berkompeten dalam politik. Karena itu, untuk pernyataan politik yang ditulis oleh akun anonim di berbagai media sosial tidak perlu untuk dipertimbangkan.