Ponpesma Unisla
Artikel

Krisis Keramahan Di Era Digital

Share & Like Post ini :


KRISIS KERAMAHAN DI ERA DIGITAL

Oleh : Ust. Ja’far Shodiq, M.H *(Pengagum Karya Pramodya Ananta Toer)

SuaraPonpesma. Beberapa waktu lalu, salah satu media cetak nasional, Jawa Pos, memberitakan, kota Montclain, Colombia, Amerika Serikat akan memberikan hukuman pidana berupa denda sebesar USD 100 atau setara dengan 1,37 juta bagi “mayat hidup”, yaitu mereka yang menggunakan gadget ketika berjalan atau memasang headset di telinga. Munculnya kebijakan yang dituangkan dalam peraturan kota, mungkin setingkat dengan Peraturan Bupati atau peraturan walikota untuk konteks Indonesia, merupakan respon pemerintah terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, yang oleh pemerintah dinilai membahayakan, terutama bagi keselamatan masyarakat sendiri.

Peraturan kota di atas tentu merupakan angin segar bagi masyarakat di tengah “krisis keramahan” yang melanda banyak negara di setiap belahan dunia. “Krisis keramahan”  ini sebenarnya mulai muncul ketika teknologi dan alat komunikasi berkembang sedemikian pesatnya, hingga memunculkan telpon pintar, yang pada tahap tertentu bisa mengalahkan kepintaran yang menciptakannya, manusia. Mempersepsikan alat komunikasi sebagai alat yang pintar kemudian memberikan dampak khusus, yakni munculnya ketergantungan masyarakat terhadapnya. Pembaca bisa membuktikan, berapa banyak masyarakat di sekitar yang di saku baju, saku selana, tas, dan bahkan bagasi sepeda motor yang menyimpan gadget, mulai dari model lama hingga model terbaru. Dan berapa banyak orang di sekitar yang tidak menggunakan gadget. Bila dibandingkan, meski tidak berdasar pada penelitian yang didasarkan pada metode sensus, dengan mudah hasilnya akan bisa ditebak, jumlah orang yang menggunakan gadget akan lebih banyak dari pada orang yang tidak menggunakannya.

Kata “krisis keramahan” sebenarnya penulis munculkan sendiri. Tanpa didasarkan pada sebuah penelitian atau kerangka konseptual yang sempurna, hanya didasarkan pada pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pun, mungkin juga dirasakan oleh pembaca. Bagaimana pembaca menyaksikan teman sejawat yang mengajak yang lain untuk ngopi, namun nyatanya ia sibuk dengan gadgetnya. Tersenyum sendirian, tanpa memperhatikan sekitar, bahkan mungkin sambil tertawa terbahak-bahak hingga orang sekitar yang masih “waras” menjadi heran. Mereka yang masih “waras” adalah mereka yang ketika ngopi di tangannya terdapat secangkir kopi, bukan gadget. Namun nyatanya, orang di sekitarnya juga acuh tak acuh. Mereka juga sibuk sendiri dengan gadgetnya. Hingga tidak sadar pada tawa orang yang duduk di sampingnya. Sekilas memang tidak menjadi masalah yang serius, dan tidak pula merugikan orang lain. Mereka sibuk dengan gadget sendiri, bukan gadget orang lain. Namun permasalahannya justru  terletak pada kesibukan dengan gadget milik sendiri itu, hingga tidak memperdulikan orang lain dan barang milik orang lain.

Dalam istilah yang lebih sensitif, perilaku asik dan merasakan kenikmatan dengan diri sendiri bisa disebut onani. Perilaku masyarakat yang sibuk dan asik dengan gadget pribadinya, kemudian penulis menyebutnya “onani teknologi”. Dalam “onani teknologi” muncul kenikmatan pribadi yang tidak dirasakan oleh orang lain dan tidak dibagikan pada orang lain ketika seseorang memainkan sebuah gadget yang ia genggam di tangannya. Hanya ia dan Tuhan saja yang tau, apa yang dilakukan dan seberapa besar kenikmatan yang dirasakan. Seolah hanya yang bersangkutan yang duduk di warung kopi, dan yang lain tiada. Atau kalimat yang berbeda, yang bersangkutan hidup sebagai manusia yang di dalamnya terakumulasi syarat-syarat makhluk hidup, hanya saja ia tidak bersosial, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, dan tidak mampu merasakan kenikmatan berinteraksi.

Pada tahap yang lebih akut, perilaku “onani teknologi” kemudian memunculkan beragam problematika sosial, mulai dari perselingkuhan yang diakibatkan orang ketiga, krisis senyum dan sapa, hingga menurunnya intensitas interaksi antar inividu dalam satu kelompok masyarakat. Dalam ingatan penulis, masih melekat kuat, bagaimana tugas makalah kelompok matakuliah benar-benar dikerjakan secara berkelompok. Membagi sub tema, membuat janji untuk berdiskusi dan mengumpulkan tulisan untuk bahan makalah di tempat yang disepakati. Begitu juga ketika berorganisasi, para anggota bisa sampai larut malam berdiskusi membahas sebuah tema diskusi, terutama yang berkaitan dengan organisasi yang dibina. Namun  sekarang, pemandangan seperti itu jarang sekali ditemukan. Pembuatan makalah sebagai tugas kelompok menjadi cukup mudah, tidak perlu membuat janji untuk berdiskusi dan mengumpulkan hasil.  Tiap-tiap individu dalam kelompok bisa mengirim hasil tulisan di grup aplikasi Whatsapp misalnya. Atau ketika ada masalah yang menyangkut organisasi, pun terkadang didiskuiskan di grup aplikasi Whatsapp.

Sekilas memang membuat kerja menjadi mudah dan efisien. Namun sebenarnya memberikan dampak buruk bagi sisi kemanusiaan seseorang. Mengumpulkan tugas dengan menggunakan aplikasi yang tersedia di gadget  atau menyelesaikan masalah organisasi dengan berdiskusi di grup aplikasi media sosial, atau pada kasus yang lebih “gila” lagi, bersilaturrahim dan meminta maaf ketika moment hari raya idul fitri di media sosial, menjadikan dua individu tidak saling bertatap muka dan mengekspresikan rasa, dan di sana ada reduksi rasa antar keduanya. Teks yang diketik di media sosial, mungkin sama dengan teks-teks lainnya, tidak bisa memuat rasa dan ekspresi si penulis, sekalipun dalam media sosial menyediakan simbol emotion. Ketika bahasa lisan dipindah ke bahasa tulisan, ada rasa dan ekspresi penulis yang tertinggal dan tidak sampai pada pembaca. Tidak mengherankan, bila pembaca menulis pesan singkat dan dikirim ke teman sejawat, ternyata teman sejawat seringkali keliru memahami pesan yang ditulis. Sebenarnya pesan ditulis bernuansa lucu dan dimaksudkan untuk menghibur pembaca, ternyata ditafsirkan berbeda hingga membuat pembaca marah.

Pada tahap selanjutnya,  minimnya interaksi langsung antar individu dikhawatirkan mengikis sifat-sifat yang selama ini telah terbangun dalam diri seseorang, seperti hilangnya budaya sapa, sikap ramah, dan peka terhadap perubahan sosial. Hilangnya sifat-sifat yang disebutkan itu menjadikan konsep makhluk sosial tidak bermakna lagi. Manusia sebagai makhluk sosial, mungkin pada saatnya, hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu yang disebarkan lewat media sosial. Bahwa dahulu, pada masa tertentu, manusia pernah hidup sebagai makhluk sosial, satu sama lain saling tutur sapa, tebar senyuman dan peduli terhadap sesama.

Berdiam diri dalam kesadaran akan bahaya pemakaian teknologi informasi merupakan sebuah kesia-siaan. Dibutukan langkah nyata untuk mengakhiri krisis atau mengarahkan pemakaian teknologi informasi agar terarah, sehingga munculnya dampak positif bisa maksimal dan menekan sebesar mungkin dampak negatif. Pertama, peran keluarga. Sebagai institusi paling kecil, institusi keluarga diharapkan mampu memberikan pengaruh dan kontrolnya terhadap perilaku anggotanya. Kepala keluarga misalnya, bisa membuat aturan waktu pemakaian gadget. Seperti tidak boleh memakai gadget pada jam 18.00 hingga 20.00 karena pada jam tersebut biasa dipakai untuk belajar pelajaran sekolah. Pengaturan pekaian gadget juga bisa diperluas hingga pada larangan pemakaian gadget ketika berkumpul bersama keluarga atau ketika makan. Kedua, peran tenaga pendidik. Sebagai orang yang memiliki pengaruh besar dalam mendidikan, para tenaga pendidik cukup berpotensi untuk menghentikan laju cengkraman teknologi terhadap kehidupan manusia. Seorang tenaga pendidik harus senantiasa memberikan edukasi terhadap anak didik agar bijak dalam pemakaian alat komunikasi. Disamping itu, anak didik perlu dibiasakan membuat tugas karya tulis yang refrensinya harus buku, dan tidak boleh mengambil materi dari internet. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan manusia terhadap teknologi. Ketiga, peran pemerntah. Sebagai pemegang kekuasaan, pemeritah diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan dengan melakukan langkah nyata, bisa berupa melakukan himbauan tentang penggunaan gadget, atau kalau perlu, dan bila dirasa mungkin, membuat peraturan perundang-undangan yang lebih luas lagi, tidak hanya melarang penggunaan gadget ketika berkendaraan, seperti yang selama ini telah berlaku.



Share & Like Post ini :
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *