“KEBERAGAMAAN WONG ‘NDESO”
Oleh : Ja’far Shodiq
(Ustdaz Madin Ponpesma)
SuaraPonpesma, Ide untuk menulis tulisan ini sebenarnya muncul ketika penulis membaca salah satu tulisan Putu Wijaya yang berjudul “Agama dan Nurani” dalam bukunya “Bali yang Meradang”. Putu Wijaya menceritakan salah seorang suami dan istrinya yang dengan kesederhanannya datang ke pura untuk beribadah,datang ke pura dengan baju yang lusuh, destarnya pun juga lusuh. Ketika Pemedek melantunkan Trisandhya, ia hanya diam saja. Sanggah kemulan di rumahnya pun ditumbuhi rumput yang tinggi, petanda jarang dikunjungi. Begitu kira-kira Putu Wijaya Menceritakan salah satu keluarga yang menjadi tetangganya, yang hanya terdiri dari si bapak dan si ibu, sedang anak-anaknya sudah membina keluarga sendiri. Mereka sudah terlalu sibuk di sawah, masalah ibadah seadanya saja. Namun mereka tetap akur dan berbudi luhur terhadap sesama. Dan para tetangganya pun tidak pernah sedikitpun mengeluhkan tindak tanduk mereka. Para tetangga merasa nyaman bergaul dengan mereka.
Dalam konteks masyarakat muslim, tetangga Putu Wijaya mungkin bisa digambarkan dengan sosok petani muslim yang hidup di desa, jauh dari keramaian dan gemerlap kota.Wong ‘ndeso, begitulah mereka disebut. Hidup wong ‘ndeso sederhana, pagi hingga siang hanya dihabiskan di sawah. Bahkan terkadang sampai sore hari. Ketika petang tiba, wong ‘ndeso beribadah pada Allah. Ibadahnya pun cukup sederhana. Dengan pakaian yang sederhana pula. Bahkan mungkin sebagian dari mereka memakai sarung yang bolong, mungkin gara-gara rokok, karena terlalu capai di sawah, saat merokok pun tanpa sengaja memejamkan mata, dan tanpa sadar pula rokoknya mengenai sarung hingga bolong.
Sholat yang dilakukan wong ‘ndesohanya sholat wajib saja. Sudah tidak mampu melakukan sholat sunnah, tenaga sudah habis di sawah. Begitu juga dengan puasa, hanya puasa Ramadan saja. Puasa Sunnah tidak sempat mereka lakukan. Tuntutan menyambung hidup memaksa mereka bergelut dengan cangkul dan memeras keringat di sawah, yang tentunya membutuhkan asupan makanan yang cukup. Hingga terpaksalah harus memendam keinginan untuk berpuasa Sunnah.
Wong ‘ndeso tidak terlalu fasih melafalkan al-Qur’an, bahkan sebagian tidak mampu membaca al-Qur’an, lebih mengandalkan hafalan, itu pun hanya surat al-Fatihah dan beberapa surat pendek di juz tiga puluh. Jangankan memahami isinya, melafalkannya saja masih kesulitan. Wirid mereka pun juga sederhana, bahkan mungkin ikut-ikutan saja. Terkadang pula mereka tertidur ketika sang imam jamaah melafalkan wirid. Sambal manggut-manggut, seolah khusyu’ bertafakkur pada Yang Kuasa, padahal tidur pulas di shaf paling akhir.
Tidak seperti kaum intelektual keagamaan yang mampu membaca wirid hingga berjam-jam lamanya.Duduk di shaf paling depan. Memutar tasbih sebagai petanda, berapa banyak pujian pada Allah yang telah dibaca. Melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cukup fasih, yang antara huruf hamzah dan ‘ain bisa dibedakan, antara huruf sin dan shad cukup jelas perbedaannya. Tidak sampai disitu saja, kaum intelektual keagamaan faham betul isi al-Qur’an. Bahkan mereka mampu membaca tafsirnya, karena memang lama belajar di pondok pesantren. Pakaian mereka pun bersih nan wangi, lebih dekat pada kata suci dari pada kata najis.Namun, apakah lantas mereka lebih beragama dari pada seorang warga desa yang cara beragama sangat sederhana? Belum tentu.
Terlalu sering kita disuguhkan tayangan berita di media massa, baik cetak maupun elektronik, mereka yang terkena kasus hukum. Kebanyakan dari mereka malah orang yang pandai, rajin melaksanakan ritual keagamaan, suka berderma. Mereka tidak buta ilmu agama. Pemahaman keagaaman mereka cukup dalam, ritual kegamaannya pun cukup mengagumkan. Bahkan mencari dalail keharaman mencuri pun mereka tidak kesulitan. Sedangkan wong ‘ndeso, jarang atau bahkan tidak pernah terdengar terjerat kasus hukum. Paling-paling hanya kasus pencurian sebatang kayu jati atau beberapa buah kakao, yang karena kekeliruan katutan sistem hukum Indonesia, mereka dijerat dengan pasal yang hukumannya, dari sudut pandang hati nurani, tidak berhati nurani. Hukum dipisahkan dari realitas sosial. Masyarakat dipaksa ikut dan mengabdi pada hukum yang diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan. Padahal kata Satjipto Rahardjo, salah seorang pakar hukum Indonesia, hukumlah yang harus mengabdi pada masyarakat. Lantas siapa sebenarnya orang yang taat beragama, apakah mereka yang paham betul ajaran agama dan melaksanakan ritual dengan baik, namun moralitasnya rendah, atauakah mereka yang moralitasnya tinggi, namun pemahaman dan pelaksanaan ritual kegamaannya sangat sederhana sederhana?.
Kembali pada tulisan Putu Wijaya, tatkala penulis membaca tulisannya, penulis sampai pada satu kesimpulan, bila seseorang telah melaksanakan ajaran agama dengan benar dan melaksanakan ritual kegamaan dengan tulus, pastilah ia akan bermoralitas tinggi. Agama harusnya memberikan dampak positif bagi umatnya. Pelaksanaan ajaran agama harusnya berbanding lurus dengan moralitas. Bila seseorang yang rajin beribadah, namun moralitasnya masih rendah, apakah lantas agama yang dipersalahkan?. Tidak. Jawabannya, karena ia tidak memahami agama dengan hati nurani, dan melaksanakan ritual keagamaan tidak dengan sepenuh hati. Ajaran agama hanya ada di kepala, tidak pernah turun ke hati. Agama hanya dijadikan ilmu, bukan jalan hidup.
Keberagamaan kaum intelektual, bahkan yang paham betul tentang agama, namun moralitasnya rendah, hanya semacam makeup belaka. Hanya menutup kulit pipi saja, tidak sampai menghilangkan panu yang ada di dalam kulit. Sedangkan keberagamaan wong ‘ndeso, yang ibadahnya biasa saja, sederhana, keberagamaan mereka semacam salep penghilang panu. Tidak membuat kulit pipi mulus kinclong. Namun penyakit panu yang ada di dalam kulit menjadi sembuh.
Ibadah wong ‘ndeso yang sederhana rupanya meresap ke dalam hati. Kesederhanaan pengetahuan agama dan ritual keagamaan mereka tidak berhenti di otak dan hanya menjadi sebuah ilmu. Keberagamaan mereka masuk ke dalam hati dan menjadi jalan hidup. Mereka bahkan mungkin tidak pernah tahu dalil al-Qur’an yang menjelaskan keharaman mencuri. Namun mereka sadar betul, bahwa agama dan ajaran moral manapun pasti melarang mengambil barang milik orang lain dengan tanpa seijin pemiliknya. Moralitas mereka mungkin tidak didapat dari dalil-dalil keagamaan, namun dari kejernihan hati dan keadilan pikiran yang diperolehnya dari keikhlasan dan kesederhanaan dalam beribadah, hingga mereka bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.